Menggali Potensi Koperasi sebagai Agen Perubahan dalam Mengatasi Krisis Iklim melalui Proyek Green Cooperative
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami dampak nyata dari perubahan iklim. Laporan Low Carbon Development Indonesia (LCDI) menyatakan bahwa peningkatan angka kejadian bencana yang terjadi di Indonesia berkaitan erat dengan dampak dari perubahan iklim dalam kurun waktu sepuluh tahun ini (2011 – 2021), yang mana angka terebut didominasi oleh bahaya hidrometeorologi. Hal ini didukung oleh data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang melaporkan bahwa 98,1% kejadian bencana di Indonesia disebabkan oleh kejadian meteorologi dan iklim ekstrem. Bencana hidrometeorologi sendiri tidak hanya menimbulkan korban jiwa tetapi juga berdampak pada lingkungan dan kerugian ekonomi (LCDI, 2022).
Banjir, kekeringan, kebakaran hutan, kualitas udara buruk, penurunan produksi pertanian, kekeringan, peningkatan suhu udara, kerusakan terumbu karang karena kenaikan suhu air laut dan kenaikan air laut yang berdampak pada masyarakat di wilayah pesisir merupakan contoh dari bencana hidrometeorologi yang telah terjadi di Indonesia. Selain dari pada itu, menurut laporan yang diterbitkan oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada tahun 2021, total emisi GRK Indonesia mencapai sekitar 2.055,15 juta ton CO2 ekuivalen. Emisi terbesar berasal dari sektor energi, yaitu sekitar 915,87 juta ton CO2 ekuivalen, diikuti oleh sektor perubahan penggunaan lahan dan kehutanan, yaitu sekitar 714,18 juta ton CO2 ekuivalen.
Dengan beragamnya dampak perubahan iklim, tindakan pencegahan dan adaptasi perlu dilakukan. Pendanaan merupakan faktor penting dalam mencapai tujuan itu. Pendanaan perubahan iklim di Indonesia masih relatif rendah jika dibandingkan dengan besarnya tantangan yang dihadapi oleh negara dalam mengatasi perubahan iklim. Namun, pemerintah Indonesia dan lembaga keuangan mulai meningkatkan perhatian terhadap pendanaan perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir. Namun, sebagian besar pendanaan perubahan iklim di Indonesia masih bersumber dari luar negeri dan belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan yang besar dalam mengatasi perubahan iklim di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan upaya lebih lanjut dari pemerintah, lembaga keuangan, dan sektor swasta untuk meningkatkan pendanaan perubahan iklim di Indonesia.
Dampak perubahan iklim banyak dirasakan oleh masyarakat pedesaan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan karakteristik Indonesia yang masih didominasi oleh sektor pertanian yang berada di wilayah pedesaan. Pelibatan koperasi dalam pendanaan perubahan iklim adalah berdasarakan kepada besarnya jumlah koperasi di Indonesia yang mayoritas melibatkan masyarakat pedesaan. Dalam laporan “Statistik Koperasi dan UMKM Indonesia 2019” yang diterbitkan oleh Kemenkop UKM, disebutkan bahwa sekitar 80% koperasi di Indonesia bergerak di sektor pertanian dan perkebunan, yang mayoritas anggotanya berasal dari wilayah pedesaan. Kementerian Koperasi juga melaporkan bahwa pada September 2021 terdapat sekitar 3,9 juta koperasi yang terdaftar di Indonesia, dengan jumlah anggota mencapai sekitar 87,7 juta orang.
Lebih lanjut Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia menyampaikan bahwa kontribusi koperasi terhadap pendapatan domestik bruto pada tahun 2022 sebesar 5,3%. Selain itu, koperasi juga merupakan Lembaga yang aksesnya sampai ke tingkat akar rumput, terutama di wilayah pedesaan. Oleh sebab itu, koperasi merupakan kendaraan yang tepat untuk dilibatkan dalam pendanaan perubahan iklim. Bagaimanapun pengaturan keuangan berkelanjutan baru ditetapkan ke Lembaga Keuangan Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank di bawah Otoritas Jasa Keuangan dimana koperasi belum memiliki peraturan yang sama. Pendanaan perubahan iklim secara garis besar dimaknai sebagai pendanaan yang ditujukan untuk mengurangi emisi karbon serta kerentanan dampak negatif perubahan iklim terhadap manusia dan sistem ekologi.
Mengacu pada isu tersebut, Yayasan Rumah Energi (YRE) didukung oleh ClimateWorks Foundation melaksanakan Proyek Koperasi Hijau atau Green Cooperative Project guna mendorong keterlibatan koperasi dalam pembiayaan untuk aksi iklim. Tujuan dari proyek ini secara spesifik adalah untuk membangun kesadaran para pemangku kepentingan akan kekosongan pendanaan yang berkesinambungan, serta pendanaan perubahan iklim, dan membangun pengetahuan akan potensi koperasi di Indonesia dalam mengisi kekosongan pendanaan perubahan iklim di tingkat akar rumput. Untuk itu, koperasi perlu dikembangkan potensinya melalui penerapan kebijakan Lingkungan, Sosial dan Tatakelola (Environment, Social and Governance – ESG). Demi mencapai tujuan-tujuan tersebut, diperlukan adanya peraturan atau landasan dan panduan yang akan memberikan ruang gerak dan kemampuan kepada koperasi untuk beperan sebagai “agent of change”. Oleh sebab itu, Green Cooperative Project akan berfokus pada penyusunan “policy paper” dan “operational guidelines” yang diharapkan akan menjadi acuan untuk koperasi dalam pendanaan perubahan iklim.