Roundtable Discussion Peran Koperasi untuk Perubahan Iklim (SDG 13): "Sebagai Agen Perubahan Pembiayaan Mikro dalam Ekosistem Keuangan Berkelanjutan"
Koperasi sebagai lembaga keuangan yang bergerak di tingkat akar rumput merupakan salah satu lembaga yang cukup rentan terhadap perubahan iklim. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa terjadinya perubahan iklim berpotensi menimbulkan risiko-risiko yang dapat menurunkan tingkat pendapatan anggota koperasi. Meski demikian, keterpaparan koperasi terhadap isu perubahan iklim ternyata cenderung minim. Padahal, koperasi memiliki posisi strategis dalam lansekap aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yaitu sebagai lembaga penyalur keuangan untuk mendorong transisi dari energi fosil ke energi terbarukan.
Yayasan Rumah Energi (YRE) didukung oleh ClimateWorks Foundation melalui proyek Koperasi Hijau berinisiatif membangun kesadaran para pemangku kepentingan untuk pembiayaan berkelanjutan berkaitan dengan perubahan iklim, dan membangun pengetahuan akan potensi koperasi di Indonesia dalam pembiayaan perubahan iklim di tingkat akar rumput.
Dalam rangka pelaksanaan proyek, YRE menyelenggarakan Roundtable Discussion bertajuk Peran Koperasi untuk Perubahan Iklim (SDG 13): Sebagai agen perubahan pembiayaan mikro dalam ekosistem keuangan berkelanjutan“ pada senin (13/11). Kegiatan diskusi ini dihadiri secara luring olehpara perwakilan dari pemangku kepentingan seperti Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Pengelola Longkungan Hidup (BPDLH), Sekretariat Kabinet, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Induk Koperasi Kredit (INKOPDIT), Koperasi Energi Terbarukan Indonesia (Kopetindo), perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Secara daring, kegiatan diskusi ini juga dihadiri oleh enam belas perwakilan koperasi di Indonesia. Kegiatan diskusi ini secara garis besar bermaksud untuk mendapatkan umpan balik dari pemangku kepentingan untuk melengkapi penyusunan policy paper dan operational guidelines. Kedua dokumen tersebut diharapkan menjadi jalan pembuka bagi koperasi untuk dapat berkontribusi dalam pembiayaan untuk perubahan iklim.
Lead Writer & Researcher untuk Green Cooperatives Project, Agam Subarkah mengungkapkan bahwa belum ada regulasi yang mengatur peran koperasi untuk pembiayaan iklim. Ia memberikan contoh bagaimana di sektor perbankan sudah ada OJK yang mengeluarkan Taksonomi Hijau, sedangkan di sektor koperasi praktiknya sudah ada akan tetapi regulasi kebijakannya yang masih belum ada berkaitan dengan pembiayaan iklim. Ia menekankan bahwa koperasi menyumbang hampir 6,2% PDB nasional, dengan total aset mencapai IDR 250,98 Triliun dan volume bisnis yang substansial sekita IDR 182,35 Triliun. Menurutnya, yang menjadi fokus adalah bagaimana memberdayakan komunitas lokal dan UKM lokal termasuk koperasi yang memiliki potensi besar untuk menjadi penggerak dalam upaya pembangunan hijau di Indonesia.
“Bagaimana empowering local community dan local business yang sudah ada dengan potensi yang sangat besar menjadi low hanging fruit untuk Indonesia bergerak ke arah pembangunan yang lebih hijau.”
Ramada Febrian, Researcher untuk Green Cooperatives Project menambahkan bahwa saat ini sudah ada satu instrumen yang dapat digunakan untuk scale-up aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yaitu pembiayaan iklim. Pembiayaan ini yang dibutuhkan oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia kepada negara-negara maju sebagai bentuk dukungan untuk menjaga bumi dari pemanasan global. Data secara global dari Climate Policy Initiative (CPI) menyebutkan bahwa 53% pembiayaan iklim berasal dari sektor swasta seperti perusahaan, lembaga keuangan komersial, dan rumah tangga atau individu. Sementara dari sektor publik didominasi oleh lembaga pembiayaan pembangunan nasional, lembaga pembiayaan multilateral, dan lembaga keuangan milik negara.
“Pemerintah pusat memiliki program climate budget tagging yang digalakan mulai tahun 2016 untuk menandai kegiatan-kegiatan yang berorientasi iklim. Ada yang fungsinya mitigasi, adaptasi, atau dual benefits.“
Sementara itu, Ibu Devi yang mewakili Kemenkop UKM menejelaskan bahwa Kemenkop UKM memiliki pengalaman bekerja sama dengan Kementerian ESDM dalam memberikan akses energi melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) untuk masyarakat di Timur Indonesia. Dalam kerja sama tersebut Kemenkop UKM memberikan bantuan kepada koperasi untuk instalasinya. Jika Kementerian ESDM fokus dengan kontribusi energi, Kemenkop UKM dari segi ekonominya seperti kegiatan ekonomi produktif, misalnya untuk mengsangrai kopi.
“Koperasi membantu masyarakat untuk mendapatkan listrik melalui adanya PLTMH, walau pun hanya 450 watt untuk beberapa rumah tangga.“
Ia menambahkan, jika Koperasi Hijau ini ingin digalakan, perlu ada kerja sama dan sinergitas dari institusi hingga level akar rumput termasuk koperasi itu sendiri, sehingga apa yang menjadi tujuan bersama bisa tercapai.
Ibu Nining Ngudi Purnamaningtyas dari bagian Penyaluran BPDLH memaparkan bahwa lembaga pembiayaan tidak bisa lepas dari usaha-usaha yang berkontribusi pada sustainability. Ia menambakan saat ini BPDLH bekerja sama dengan koperasi (konvensional dan KSPBS), dan salah satunya syarat dalam kerja sama tersebut adalah melindungin pohon sebagai kontribusi menekan efek gas rumah kaca. Salah satu poin penting mengapa BPDLH bekerja sama dengan koperasi adalah karena anggota koperasi merupakan masyarakat di tingkat tapak, mereka yang memiliki usaha di tingkat tapak dan isu lingkungan hidup tidak hanya di tataran pusat tapi juga di tingkat tapak.
“Memahami bahwa dalam mencapai target untuk menurunkan emisi, kita membutuhkan biaya yang sangat besar dan keterlibatan semua pihak. Tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tapi juga termasuk pelaku-pelaku usaha dan juga pelaku-pelaku pembiayaan.”
Kemudian berkaitan dengan insentif untuk menarik minat koperasi dalam pembiayaan hijau, Bapak Stepanus General Manager INKOPDIT mengemukakan bagaimana model bisnis yang bisa meyakinkan anggota koperasi untuk mau akses green financing. Ia mencontohkan, jika ada insentif misalnya untuk koperasi-koperasi yang berkontribusi terhadap perubahan iklim, koperasi tersebut akan mendapatkan pengurangan pajak. Mungkin itu bisa mendorong koperasi untuk mau terlibat ke dalam pembiayaan iklim.
Direktur Eksekutif YRE, Rebekka Angelyn mengungkapkan setidaknya ada empat faktor yang dapat mendorong koperasi scale up jika sudah membiayai energi terbarukan. Yang pertama adalah kebijakan. Berdasarkan hasil interview diketahui bahwa jika ada kebijakan dan ada pedoman yang jelas, maka koperasi bersedia untuk masuk ke pembiayaan energi terbarukan. Yang kedua adalah profit, karena koperasi memiliki orientasi ekonomi. Yang ketiga adalah permintaan anggota. Ia mencontohkan salah satu mitra koperasi YRE yang masuk koperasi besar (skala Kemenkop UKM) yang memberikan pembiayaan solar panel kepada anggotanya untuk kegiatan produksi, namun dengan dukungan technical assistant. Yang keempat adalah kesadaran etis akan adanya perubahan iklim, seperti yang sudah dilakukan oleh Koperasi Amoghasiddhi dengan pembiayaan solar panel di Bali.
Lalu, berkenaan dengan regulasi dan kebijakan, Bapak Imam Gozali yang mewakili OJK menanggapi bahwa yang perlu diperjelas untuk koperasi hijau adalah jenis koperasinya. Jika jenis koperasinya sudah jelas lalu bisa dipetakan aturannya. Ia kemudian memaparkan, sesuai dengan P2SK ada yang namanya koperasi open loop dan close loop. Koperasi open loop harus bertransformasi menjadi lembaga keuangan yang sudah diawasi oleh OJK, misalkan untuk koperasi simpan pinjam yang memberikan pembiayaan di luar anggota itu hanya berlaku hingga Januari 2026, setelah itu koperasi simpan pinjam hanya memberikan pembiayaan untuk anggota. Jika memberikan ke luar anggota artinya dia menjadi open loop, berarti harus menjadi lembaga keuangan yang diawasi oleh OJK.
“Oleh karena itu, mesti dibedakan koperasi sebagai badan hukum atau sebagai bentuk usaha. Koperasi sebagai lembaga hukum diatur dalam UU Perkoperasian, koperasi sebagai izin usaha aturannya mengikuti aturan yang ada dalam Kementerian Koperasi dan UKM. Jika koperasi sebagai open loop, sebagai lembaga keuangan silakan apabila nanti bentuk badan hukumnya koperasi tapi izin usahanya bisa sebagai lembaga pembiayaan, peer–to–peer lending, perasuransian, atau sebagai Bank BPR, sehingga ketika masuk ke sustainable finance sudah ada aturan OJK-nya dan tidak perlu ada lagi aturan khusus karena sudah masuk dalam lembaga pembiayaan.“
Sesi diskusi kemudian ditutup dengan wrap up dari narasumber dan moderator. Ada pun hasil dan masukan-masukan dari kegiatan diskusi ini nantinya akan menjadi input tambahan dalam penyusunan policy paper dan operational guidelines di Green Cooperatives Project. Acara kemudian ditutup dengan sesi makan siang siang bersama.