Pelatihan Water and Waste Management untuk Mewujudkan Koperasi Hijau
Upaya untuk mendorong koperasi sebagai agen perubahan iklim masih terus digencarkan oleh Yayasan Rumah Energi (YRE) salah satunya melalui proyek Green Cooperative Adaptation Readiness (GENCAR). Pada fase pertama, implementasi proyek dari bulan Juli hingga Desember 2023, YRE telah mengupayakan peningkatan kapasitas kelembagaan Koperasi dalam Good Cooperative Governance dan Kesetaraan Gender & Inklusi Sosial (GESI). Kedua topik tersebut telah diimplementasikan oleh 4 koperasi dampingan melalui peningkatan dokumen kelembagaan (SOP, SOM, AD-ART, Rencana Strategik) yang telah diajukan di mekanisme Pra-RAT dan RAT.
Rangkaian kegiatan pelatihan dan pendampingan kepada empat koperasi utama yang menjadi sasaran proyek kini telah memasuki fase kedua. Pada awal Mei lalu telah diberikan pelatihan Water and Waste Management Technology Best Practices yang juga turut mengundang koperasi-koperasi lainnya dan dilaksanakan selama dua hari dengan metode hybrid. Kegiatan bertajuk Pelatihan Penerapan Praktis Teknologi Tepat Guna dan Ramah Lingkungan untuk Akses Air Bersih dan Manajemen Pengelohan Limbah Bagi Bisnis Kelembagaan dan Anggota Koperasi diselenggarakan pada tanggal 3 & 4 Mei 2024 di Salatiga, Jawa Tengah.
Eddy Sulistiyo, Kepala Dinas Koperasi Jawa Tengah Eddy Sulistiyo Bramiyanto, SE, MM membuka kegiatan dengan pemaparan konteks soal koperasi. Ia mengemukakan bahwa Koperasi dibentuk untuk memberikan manfaat kepada anggota, salah satu fungsi idealnya adalah untuk mengendalikan harga. Hilirisasi produk menjadi hal penting untuk meningkatkan nilai sebuah komoditi, sehingga sebaiknya koperasi produksi bisa melakukan hal tersebut.
“Koperasi di Indonesia yang aktif ada kurang lebih 180.000, omsetnya mencapai 300 triliun lebih. Mau tidak mau harus diakui koperasi memiliki peran yang signifikan dalam menggerakkan ekonomi negara, sebuah potensi besar yang harus dijaga. Karena itu efisiensi biaya operasionalnya harus diperhatikan. Di sisi lain, sistem tata kelola koperasi lebih memungkinkan untuk difungsikan sebagai media rekayasa sosial. misal di Tuntang, ada koperasi yang unit usahanya mengolah limbah organik menjadi pupuk kompos. Bayangkan jika di tiap kabupaten ada tiga sampai empat koperasi yang bergerak di bidang ini. Limbah organik sudah tidak akan jadi masalah lagi.”
Pelatihan ini juga menghadirkan narasumber yang bergerak dalam bidang lingkungan dan bisnis. Anang Setiawan dan tim dari Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene (IUWASH), yang merupakan program untuk meningkatkan perluasan akses terhadap air minum dan layanan sanitasi yang aman di Indonesia yang didukung Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID. Ia menjelaskan eberapa masalah terkait sumber daya air. Mengutip dari beberapa media massa, banyak sekali sumber mata air yang telah mati di Indonesia, tapi di sisi lain banyak sekali banjir yang terjadi dalam waktu yang sama. Idealnya, yang memberikan suplai air bagi sungai adalah air tanah. Tapi per hari ini sungai kita lebih banyak mendapatkan suplai dari air permukaan. Artinya banyak sekali air yang tidak terserap oleh tanah dan langsung run-off menuju sungai. Perubahan iklim juga memperparah kondisi alam.
“Perubahan iklim kini dapat kita rasakan secara langsung, terlihat dari makin singkatnya masa hujan tapi curah yang sama. Analogi sederhananya; 1000 liter air seharusnya dituang dalam waktu seminggu, ini digelondorkan hanya dalam waktu satu hari saja. Di sisi lain, kemampuan tanah dalam menyerap air justru berkurang karena betonisasi, pembangunan dan sebagainya. Hal ini membuat kuantitas air hujan yang run-off semakin tinggi, membuat kondisi semakin ekstrim.”
Anang lalu menambahkan, bahwa ada berbagai cara yang dapat dilakukan dalam upaya konservasi air oleh masyarakat, seperti membuat sumur resapan, embung, terasering sabuk bumi, dan biopori. Semua konservasi yang dilakukan, tujuannya adalah mencegah air langsung lari ke sungai, sebisa mungkin mengupayakan agar air tidak langsung ke sungai, akan tetapi masuk meresap ke dalam tanah.
Pada sesi pelatihan kedua dipandu oleh Mega Angraini dan tim dari Bintari Foundation. Bintari Foundation sendiri adalah lembaga swadaya nasional yang bergerak di bidang perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Pada sesi ini peserta dibagi menjadi dua kelompok yang ditugaskan untuk mengklasifikasi dan memilah berbagai macam seperti sampah organik, sampah anorganik, dan juga residu. Selanjutnya peserta diberikan pengetahuan tentang pengelolaan TPS3R oleh Pak Ali, salah satu praktisi yang menjalankan TPS3R Pedalangan Bersinar yang berlokasi di Semarang. Tidak hanya memilah, TPS3R juga mengolah sampah menjadi komoditas baru yang memiliki nilai ekonomi. Kemudian selain menjadi instalasi pengelolaan sampah, TPS3R juga menjadi ruang belajar bagi siswa untuk belajar memilah sampah dalam rangka mempersiapkan generasi paham dan sadar akan bahaya sampah. Hingga saat ini, perbulan TPS3R yang dikelola Pak Ali mampu mengelola kurang 40 ton sampah.
Berdasarkan sesi berbagi pengalaman dan sesi diskusi, salah satu poin penting yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana strategi untuk mendorong kebijakan dari pemerintah di level desa. Seringkali pemerintah desa tidak menyadari bahwa sampah sebenarnya bisa menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) jika dikelola dengan benar. Advokasi kebijakan kepada pemerintah desa yang selama ini dilakukan oleh Bintari secara umum menggunakan strategi pendekatan bisnis, sehingga ekonomi sirkular dapat mendorong aspek keberlanjutan lingkungan yang dalam hal ini adalah pengelolaan sampah yang memiliki nilai ekonomi.
Setelah peserta mendapatkan gambaran utuh terkait Water and Waste Management, langkah penting selanjutnya adalah bagaimana menerapkan pengetahuan tersebut ke dalam Business Model Canvas (BMC) yang dipandu oleh Natalia Sari Pudjiastuti, Staf Pengajar Ekonomi Universitas Sunan Muria Semarang, Praktisi Koperasi dan Konsultan Ahli Pengembangan Koperasi dan UMKM Dinas Koperasi UKM Provinsi Jawa Tengah. Pelatihan yang berkesinambungan ini diharapkan dapat mendorong koperasi untuk berperan sebagai agen perubahan dan dapat menjadi contoh atau studi kasus bagi Kementerian Koperasi & UKM, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Koordinasi Fiskal Kementerian Keuangan, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) serta Dinas-Dinas terkait di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam implementasi konsep Green Cooperatives atau Koperasi Hijau.