Mampukah Transisi Energi Berkeadilan menjadi Game Changer dalam Menanggulangi Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Data laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyebutkan terjadi 24.441 kasus kekerasan berbasis gender di tahun 2024, di mana sebagian besar korbannya adalah perempuan dengan jumlah mencapai 21.175 kasus. Mirisnya, kekerasan berbasis gender ini terjadi paling banyak di lingkup rumah tangga sebanyak 14.941 kasus.
Dalam konteks transisi energi, dibutuhkan partisipasi aktif semua lapisan masyarakat. Akan tetapi, perempuan seringkali terhambat berkonstribusi dalam pembangunan energi berkelanjutan. Sebagai contoh, perempuan di desa yang sehari-hari harus mengelola energi bahkan inisiatif menyediakan energi guna kebutuhan memasak sehari-hari jarang atau tidak pernah mendapatkan kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam pemenuhan energi di rumah tangga. Bahkan perempuan juga menanggung beban tambahan dalam pekerjaan rumah tangga dan mengurus keluarga. Ketika sumber daya energi menjadi terbatas atau mahal, beban kerja perempuan semakin meningkat, yang dapat memicu stres dan konflik dalam rumah tangga.
Perubahan iklim dan bencana alam yang diakibatkan oleh krisis energi dapat memperburuk kerentanan perempuan. Perempuan seringkali memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam mengelola sumber daya air, pangan, dan energi di rumah tangga. Ketika sumber daya ini menjadi langka akibat perubahan iklim, perempuan dapat mengalami tekanan yang lebih besar dan berisiko mengalami kekerasan. Transisi energi juga seringkali melibatkan persaingan atas sumber daya alam. Konflik yang timbul dapat meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual dan eksploitasi. Selain itu, banyak perempuan bekerja di sektor energi informal, seperti produksi bahan bakar hayati atau tenaga surya skala kecil seringkali tidak memiliki perlindungan sosial yang memadai dan dapat membuat perempuan rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan.
Pada tahun 2023, Rumah Energi melalui Pro-Women for Renewable Energy berupaya meningkatkan peran serta Kelompok Wanita Tani (KWT) di Lombok Tengah dengan memfasilitasi forum diskusi di level desa, pendampingan intensif hingga pembangunan instalasi energi terbarukan yang menunjang UMKM. Saat ini, Pro-Women berfokus untuk memastikan adanya jaminan pekerja perempuan yang terdampak pensiun dini di PLTU Pelabuhan Ratu untuk memiliki hak-hak yang sama. Sinkronisasi dengan pemerintah daerah menjadi kunci dalam proses transisi ini, sehingga dalam penerapannya nanti bisa saling melengkapi.
Transisi energi berkeadilan diharapkan dapat menjawab isu ketimpangan gender dalam pembagian peran di ranah domestik keluarga. Jika ini dapat diterapkan dengan baik, masalah kekerasan dalam rumah tangga yang disebabkan isu energi harapannya dapat ditanggulangi.
Ditulis oleh: Krisna Wijaya
Disunting oleh: Fauzan Ramadhan